Aku pikir Dieng itu sudah cukup
terkenal. Setidaknya orang-orang akan tahu di mana lokasinya, apa saja
yang menarik di sana, dan seperti apa gambarannya. Tetapi dugaanku
meleset. Pertanyaan yang datang dari teman-teman ketika mengetahui
rencana perjalananku ke sana ternyata cukup mengejutkan.
“Dieng itu deketnya Bromo, ya?”
“Deket Surabaya, ya?”
“Kalau naik pesawat, turun di airportnya mana?”
“Oh, Dieng itu di Jawa Tengah, dekat dengan Wonosobo”.
“Wonosobo itu mana?”Baiklah teman-teman, Dieng itu terletak dataran tinggi yang berada di wilayah kabupaten Banjarnegara dan kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Dieng sendiri sebenarnya adalah kaldera yang berada di kawasan gunung berapi aktif dengan beberapa kepundan kawah pada ketinggian di atas 2000 mdpl.
Lalu, apa saja yang menarik
di sana? Wah, banyak sekali yang menarik. Secara alamiah, letak
geografis Dieng yang merupakan dataran paling tinggi di Jawa dan
dikelilingi gugusan gunung seperti Gunung Sumbing, Gunung Sindoro dan
Gunung Perahu ini, menyuguhkan panorama alam yang begitu kaya dan luar
biasa. Golden sunrise, silver sunrise, gunung berselimut kabut yang
eksotis, kawah-kawah yang masih aktif, hamparan pemandangan di lembah
dan sejuknya udara adalah sebagian di antaranya. Secara kultural, Dieng
juga memiliki kekayaan yang begitu mempesona. Berasal dari kata Di
(gunung) dan Hyang (dewa), Dieng juga menyimpan cerita tentang
keberadaannya yang digambarkan sebagai kahyangan para dewa. Masih
berdirinya candi-candi bernuansa Hindu dan situs-situs bekas wihara
mempertegas perjalanan sejarah yang pernah ada. Keduanya menyatu dan
saling memperkaya, yang antara lain melahirkan mitos-mitos yang sangat
menggelitik untuk dicerna, seperti misalnya tentang keberadaan Kawah
Candradimuka, candi-candi yang dinamakan dengan nama tokoh-tokoh
pewayangan, Telaga Balai Kambang, dan sebagainya.
Perjalanan dari Jakarta – Batur - Dieng
Bersama suami dan dua orang teman,
kami menempuh perjalanan kali ini lewat darat dengan mobil dari
Jakarta. Karena bertepatan dengan long week end, perjalanan
agak tersendat. Maklum saja, jalanan ramai dan padat, ditambah ada saja
truk atau kendaraan lain yang tiba-tiba mogok, belum lagi kami sempat
tersesat gara-gara mengikuti petunjuk GPS yang ternyata membaca jalan
buntu sebagai jalan yang tembus ke Dieng.
Karena tidak ingin lewat Wonosobo, dan bermaksud
memotong jalan yang lebih dekat, kami menyusuri jalanan dengan
perkebunan salak di samping kiri dan kanannya. Di sepanjang jalan yang
semakin menanjak itu, jarang kami menemukan rumah-rumah penduduk, warung
makan, apalagi pasar. Tapi kami sempat berpapasan dengan seorang bapak
yang tengah memikul salak. Karena lapar, kami pun turun dan membeli dua
kilo, yang karena tidak ada alat timbangnya lantas dikira-kira dengan
plastik kresek yang ditimang-timang. Tradisional sekali. Kami pun
melanjutkan perjalanan dengan dibekali bonus pertanyaan sederhana tapi
menggelitik rasa: berjalan kaki dengan beban berat menyusuri jalan yang
menanjak, hendak dibawa kemana salak tadi?
Dalam perjalanan itu, kami memutuskan untuk mencoba mencari homestay.
Pertimbangannya, kalau di hotel di Wonosobo, untuk mencapai ke Sikunir
(tujuan utama kami) perjalanan masih sekitar 70 km lagi. Sedangkan bila
kami tinggal di homestay di Dieng maka jarak ke Sikunir hanya sekitar 10 km saja. So,
masih lumayan bisa bobok lebih lama, tidak perlu bangun pukul 2 pagi
hari …. Yang penting datang langsung mandi air hangat … eh tunggu dulu,
emang homestay-nya ada water heater-nya? Jangan-jangan cuma ember dan air panas yang direbus diceret dengan kayu bakar.
Kami tiba di homestay tengah hari, sandal kami
lepas depan pintu dan tanpa alas kaki aku masuk ke dalam ruang tamu ….
uuuuuuu … aku loncat ke atas permadani, lalu naik ke sofa sambil melipat
kaki … uademe rek!!! Dingin sekali seperti menginjak es, sampai-sampai
aku harus pakai celana panjang 2 rangkap, baju 2 rangkap plus jaket
tebal. Mandiiiii? Siapa takut? Water heaternya ada walau selangnya dipantek di tembok bagian atas, jadi shower cuma bisa geleng-geleng aja di tempatnya. Jet washernya
… sama, selang dipasang dari sebelah atas dan dia tergantung di bawah
tanpa bisa ditarik-tarik. Tetapi secara umum, untuk ukuran homestay,
yang kami tempati ini cukup lumayan. Rumahnya bersih, kamar dengan 1
tempat tidur besar untuk 2 orang dengan kamar mandi didalam seharga Rp.
200.000.- per malam. Kopi, teh dan gula siap 24 jam di atas meja tamu
berikut air panas dalam termos. Mobil juga bisa masuk ke garasi. Yang
empunya rumah super ramah, seperti kebanyakan masyarakat di daerah.
Malam hari kami masih dapat suguhan kentang goreng, asli kentang dieng
yang tersohor enaknya.
DIENG PLATEAU
Perjalanan diawali dengan
mengunjungi yang deket-deket dulu yaitu ke Dieng plateau dan danau 5
warna (malah ada yang bilang 7 warna), yang sayangnya dari dekat aku
hanya bisa melihat dua warna saja, warna hijau tosca dan warna campuran
susu. Menurut Kabul, pemandu yang menemani kami, dulunya memang ada 5
warna, yakni hijau, biru, merah, kuning, jingga. Warna kuning dan
jingga muncul karena ada emas yang disembunyikan di dalamnya. Emas yang
pada jaman dahulu digunakan untuk membuat pintu kerajaan. Sedangkan
warna merah muncul karena di dalamnya ada batu mirah, tetapi batu
tersebut sudah hilang karena diambil oleh mahluk halus.
Di telaga warna ini tidak ada
ikan yang dapat hidup karena airnya mengandung belerang. Berbeda dengan
telaga Pengilon disebelahnya yang berair tawar dan terdapat ikannya,
terbukti ketika kami berkunjung ada yang tengah asyik memancing di situ.
KAWAH SIKIDANG
Dari Dieng plateau kami menuju ke
Kawah Sikidang. Kedua tempat ini berdekatan dan mudah dijangkau. Kawah
Sikidang ini masih aktif dan memiliki tempat keluar gasnya bisa
berpindah-pindah. Bagi yang tidak ingin jalan, disediakan rumah panggung
untuk menikmati lokasi dari lantai dua. Selain itu disini ada semacam
pasar kecil yang menjual berbagai jenis makanan, minuman dan sayuran
khas Dieng. Misalnya , lombok Dieng yang bentuknya besar dan gendut,
buah Carica baik yang sudah diolah maupun belum, macam-macam jajanan
dari kentang, dll.
GUNUNG SIKUNIR
Hari berikutnya, jam 3 pagi-pagi
buta, kami sudah bangun dan bersiap menuju ke gunung Sikunir, salah satu
dari 3 gunung yang berada di dataran tinggi Dieng. Ketinggiannya 2.263
mdpl. Kami melewati desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di
dataran tinggi Dieng (2.093 mdpl). Ditaburi hujan rintik-rintik dan
berselimutkan dingin, serta berbekal lampu senter, tas kamera dalam
gendongan berikut tripodnya, kami menembus kegelapan dan melewati semak
belukar dan pepohonan dengan penuh semangat.
“Ada ular gak Bul?” tanyaku pada Kabul.
“Kalau ada, ularnya udah mati kedinginan bu”.
Wrong question in the wrong situation.
Menurut Kabul kami akan berjalan sejauh 400 meter, tidak terlalu jauh jaraknya untuk mencapai zona 1 di puncak Sikunir, tetapi gempor juga karena jalanan mendaki, jarang datarnya apalagi jalanan menurun … ya iyalah namanya juga naik gunung.
Dengan napas yang cukup tersengal karena jalanan
yang menanjak dan dingin yang menghimpit sampai juga kami di zona 1,
sementara suami memilih ke zona 2 yang lebih mendaki lagi. Karena
ditinggal Kabul yang mengantar suami, kami pikir tempat ini bisa sebagai
spot untuk memotret, sebelum akhirnya melihat ada rombongan berdelapan
orang yang turun lagi ke bawah. Instingku bekerja. Karena penasaran, aku
ikut turun mau tahu ada apa di bawah sana… dan olalaaaaa … itu spot
yang lebih bagus buat mengambil foto. Aku pun lari memanggil kedua
teman yang lain untuk ikut turun.
Berdiri di spot itu, ketika matahari belum
bersinar, nun jauh di bawah lembah terlihat lampu-lampu rumah dan
jalanan di dua desa melukiskan noktah putih dalam lembaran gelap. Dan
ketika langit mulai memerah, kabut tipis melayang menutup pedesaan itu
lalu merayap naik menyelimuti gunung Sindoro. Kabut yang semakin tebal
seakan membawaku dalam perjalanan astral menuju Sang Pencipta.
Kami harus cukup puas dengan
pemandangan itu karena kabut tebal tidak segera menyingkir. Menurut
informasi, pada bulan Juni – Agustus cuaca lebih cerah, dan kita dapat
melihat gunung-gunung yang lain seperti Sindoro, Sumbing, dan Merapi
bahkan kota Ungaranpun dengan lebih jelas. Tetapi pada bulan-bulan itu
hawa akan lebih dingin lagi, akan ada embun upas yang menjadi momok bagi
petani karena dapat merusak tanaman mereka. Momen yang mungkin akan
menarik bagi kami, karena embun itu membeku seperti kristal.
Puas dengan suguhan terbitnya matahari, kami turun
ke tempat parkir … ealah ternyata ada danau Cebong disitu. Kami sempat
ngobrol dengan seorang pemancing, katanya ikan-ikan disitu suka makan
kentang, jadi umpannya ya kentang, bukan cacing … ternyata di sana kami
dan ikan sama-sama suka kentang.
Bukit Batu
Untuk melihat pemandangan yang
indah ini kami harus rela naik gunung lagi, tetapi tidak seperti ke
Sikunir. Lokasinya dapat dicapai dari tempat parkir Dieng Plateau
Theatre. Suguhan yang tak kalah indahnya dari Sikunir. Danau Telaga
Warna dan Danau Pengilon yang terletak bersebelahan terlihat jelas dari
atas bukit yang hanya cukup buat tiga orang saja, dan bahkan hanya untuk
satu orang saja jika ingin beraksi untuk mengabadikannya dengan
kamera. Dari tempat itu, nampak jelas rumah-rumah penduduk, kompleks
candi Arjuna, dan kawah Sikidang. Meskipun belum puas, kami harus rela
bergantian dengan wisatawan lain yang datang.
Sumur Jalatunda
“Mendaki lagi Bul?” Tanyaku dengan nafas tersengal.
“Tidak bu”.
Bohong ah, kami masih harus menapaki anak tangga lagi … kalau gini baru deh berasa tua, lutut sudah kaku-kaku.
Menurut mitos, sumur Jalatunda ini terjadi
gara-gara Bima marah dan menancapkan tumitnya ke tanah. Sumur ini pula
yang konon digunakan mandi oleh anaknya yang bernama Antareja. Bagi
pengunjung, di sini disediakan batu untuk menjajal kemampuannya. Bagi
laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing
di seberangnya, jika berhasil maka keinginannya akan terkabul. Sementara
itu, bagi perempuan cukup untuk bisa melemparkan batu sampai ke tengah
sumur saja.
Kawah Sileri
Dari Sumur Jalatunda kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Sileri.
“Tidak perlu naik bu, cuma dipinggir jalan”. Hehehe Kabul pasti ngeledek lagi nih.
“Tapi tidak perlu turun, kan?”
“Boleh kalau mau”.
“Tidak menerima tantangan Bul”.
Kebayang naiknya lagi kalau mau turun ke Kawah Sileri, lagi pula
pemandangan jauh lebih bagus bila diabadikan dari atas.
Menurut Kabul, sekitar tahun 90-an air di kawah ini
berwarna putih seperti air tajin (air rebusan beras), tetapi karena
tercemar oleh air dari pertanian di sekitar lereng-lerengnya maka airnya
berubah kehitaman.
Danau Merdada
Ada dua mitos yang diceritakan
tentang terbentuknya danau Merdada ini. Yang pertama ketika Sugriwa dan
Subali sedang bertapa memperebutkan keris. Sugriwa mendapat kerisnya
sedangkan Subali mendapatkan warangka keris itu. Karena marah tidak
mendapatkannya dengan lengkap, maka Sugriwa menusukkan keris nya di
lereng gunung dimana Subali membuat danau di atasnya, sehingga gunungnya
bocor dan membentuk danau yang dinamakan danau Merdada. Karena kering
tanpa air, danau yang dibuat oleh Subali maka dinamakan danau Wurung
(wurung berarti tidak jadi atau batal).
Mitos lain menceritakan bahwa danau ini tempat
lahirnya Anoman. Pada jaman dahulu barangsiapa yang berani-berani cuci
muka disitu akan dikutuk menjadi monyet, contohnya ya seperti Sugriwa
dan Subali itu. Ada yang mau mencoba?
Kompleks Candi Arjuna
Pukul 06:00 mentari pagi bersinar,
tidak ada hujan, cuaca cerah membuat kami bergegas menuju kompleks candi
Arjuna yang tidak jauh dari homestay tempat kami tinggal, hanya sekitar 5 menit dengan kendaraan roda empat.
Kabut tipis membayang dekat ke permukaan tanah,
suasana yang sepi dengan pemukiman nun di lereng gunung, dikelilingi
oleh bukit-bukit dan pohon pinus berjajar di dua sisi mengapit jalan
setapak menuju Bale Kambang di sebelah timur kompleks candi, memberikan
imaginasi seolah-olah kami tidak di Indonesia, ditambah adanya
domba-domba gendut yang sedang merumput.
Jauh dari polusi, jauh dari keramaian dan
kebisingan, yang terdengar hanya bunyi nafas dan suasana magis menanti
sang surya menampakkan diri dari balik bukit.
Kompleks candi Arjuna diperkirakan
dibangun pada tahun 809. Ada empat buah candi yang berada dikompleks
ini, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Sembadra dan Puntadewa. Masing-masing candi kecil ini memiliki keunikan tersendiri, kecuali Puntadewa dan Sembadra yang polos saja.
Candi Arjuna yang paling besar memiliki saluran air
berkepala naga yang disebut jaladwara. Di bagian atas pintu ada arca
yang disebut kala, dan di samping kiri kanan bagian tangga ada arca ular
yang dinamakan makara. Di dalam candi ini ada bangunan kecil berbentuk
kotak disebut yoni, yang menampung tetesan air dari atap candi meski
pun meskipun tidak ada hujan, terlihat ada rembesan air dari atas.
Sekali lagi mitos menceritakan barangsiapa yang meletakkan tangannya di
atas yoni dan kejatuhan tetesan air, maka keinginannya akan terkabul.
Candi Semar berseberangan dengan candi Arjuna,
bangunan yang lebih kecil ini fungsinya sebagai tempat penyimpanan
senjata. Di dalam candi Semar juga ada yoni.
Candi Srikandi memiliki keistimewaan dengan adanya
tiga relief pada dinding luar candi yang melambangkan tiga dewa yaitu
Shiwa, Wisnu dan Brahma.
Disebelah kanan kompleks candi Arjuna terdapat
tempat peristirahatan yang disebut Darmasala, dan di bagian belakangnya
terdapat beberapa lingga yang dulu digunakan untuk tempat penyimpanan
abu jenasah.
Selain itu di bagian belakang kompleks ini ada satu candi yang bernama Selaki yang terletak di
selatan candi Arjuna. Dari jauh sudah terlihat candi Selaki, tetapi
tidak menarik untuk didekati. Menuju ke candi ini melewati jalan
setapak yang ditumbuhi rerumputan. Di sebelah selatannya malah ada
tiang dari bambu terpancang di tanah membentuk segi empat tinggi
menjulang, awalnya aku pikir ada pemugaran di bagian bawahnya tapi kok
tidak ada terpalnya. Ternyata itu tempat buat lomba merpati … duilah … di lokasi situs purbakala lho, luar biasa.
Anak-Anak Berambut Gembel
Satu hal lagi keunikan yang
terdapat di Dieng yaitu adanya anak gembel (sering disebut gimbal).
Anak-anak dengan ciri khusus ini hanya terdapat di daerah Wonosobo.
Menurut mitos, anak-anak ini adalah anak yang istimewa karena merupakan
titisan dari Kyai Kaladete, seseorang yang dianggap sebagai orang sakti
dan tetua di Dieng.
Anak-anak ini seringkali menjadi anak yang
menyebalkan karena apapun yang mereka minta harus dituruti, dan bagi
mereka yang memberikan sesuatu sebagai hadiah kepada anak-anak ini juga
dianggap akan mendatangkan rejeki. Ada tiga macam jenis rambut gembel,
yaitu gembel pari yang berupa untaian kecil-kecil seperti batang padi,
gembel wedus yang menggumpal-gumpal seperti wedus (domba), dan gembel
jata yang hanya segumpal di bagian ubun-ubun. Dan yang paling banyak
dijumpai diantara mereka adalah gembel pari. Tidak ada yang tahu apa
penyebab anak-anak ini tiba-tiba berambut gembel.
Setelah naik-naik ke puncak gunung, aku dan
teman-teman memanggil tukang urut. Ibu si tukang urut ini dulunya juga
anak gembel, selain sebagai tukang urut, dia juga bertugas memandikan
dan mencuci rambut anak-anak gembel yang akan dipotong dalam upacara
yang diadakan setahun sekali. Acara itu sendiri sudah menjadi obyek
nasional bahkan internasional dan diliput berbagai media.
Kuliner
Soal kuliner, walaupun tidak
berlimpah dan banyak ragamnya, di situ ada satu rumah makan yang
menyediakan mie ongklok dan selalu ramai dikunjungi pembeli. Mie onglok
ini khas daerah Wonosobo. Mie yang kuahnya kental dan manis dipadukan
dengan sate daging yang telah diberi bumbu kecap, jadi tidak ada lagi
bumbu kacangnya. Rasanya mantap, sayang dagingnya sedikit keras.
Satu porsi mie ongklok dihargai Rp 5.000,- dan satu
porsi sate daging berisi 10 tusuk seharga Rp. 15.000,-. Bagiku makanan
ini termasuk nggemesi dan ngangeni dengan porsi mie
ongklok-nya yang kecil dan gak nendang, kata orang Jakarta. Sekali
makan cukup, tapi setelah sekian jam pingin lagi … rakus kaleeeee …
Selain mie ongklok di rumah makan tersebut juga
tersedia berbagai jenis masakan lain, salah satunya soto ayam yang
lumayan enak. Satu porsi nasi soto ayam seharga Rp. 7.000,-. Selain
itu, di pasar juga ada warung-warung makan lain, bisa memilih menu
masakan yang telah tersaji dengan harga yang wajar, artinya tidak
dimahalin karena melihat kita dari luar kota.
Plus Minus Dieng & Keindahan yang Masih Menanti
Dieng dengan semua kekayaan
wisatanya merupakan salah satu tempat favoritku di Jawa Tengah.
Penduduknya yang ramah dan sopan dan tidak adanya pungutan-pungutan liar
di tempat-tempat wisata adalah nilai plus yang lain. Semua lokasi
wisata menarik biaya tiket masuk dengan harga wajar dengan jumlah karcis
yang diberikan sesuai dengan jumlah yang kita bayarkan. Rata-rata per
orang Rp. 5.000,- ditambah kendaraan roda empat juga sama. Parkir Rp.
2.000,- sama rata di semua lokasi. Hanya di Sikunir yang mematok biaya
masuk Rp. 3.000,- per orang.
Membawa kamera tidak perlu ada tambahan biaya, ini
patut diacungi jempol. Aku paling sebel bila masuk ke lokasi wisata dan
dikenakan biaya tambahan hanya karena membawa kamera. Bukankah kita,
para photografer, ikut membantu menyebarkan lokasi-lokasi wisata secara
gratis kok malah dikenakan biaya?
Ada banyak sekali tempat-tempat yang menunggu untuk
dikunjungi, sebut saja: Telaga Menjer (masih satu jam perjalanan dengan
kendaraan roda empat dari desa Banjarnegara), Dieng Volcanic Theater,
museum Dieng Kaliasa, air terjun, dll. Tetapi karena keterbatasan waktu
maka kami hanya sempat mengunjungi beberapa lokasi saja.
Jalan raya di Dieng meskipun kecil tetapi bersih
dan mulus, hanya jalan menuju ke Sikunir yang rusak, aspal telah
terkelupas menyisakan batu-batu yang terserak.
Yang patut disayangkan adalah kurang dirawatnya
peninggalan-peninggalan kebudayaan. Batu-batu candi di Dharmasala
dibiarkan teronggok. Candi Selaki malah terletak di tengah halaman
penuh rumput dan genangan air. Kamuncak, bagian atas candi yang
seharusnya terletak diatas salah satu candi yang ada di pelataran candi
Arjuna, malah dibiarkan tergeletak di bagian bawah di pelataran.
Semoga hal ini bisa menjadi perhatian dinas pariwisata dan tidak dibiarkan berlarut-larut.
Sumber : Kompasiana, 11 April 2012