Thursday, January 17, 2013

DIENG, GUNUNG DEWA YANG TERLUPAKAN

Aku pikir Dieng itu sudah cukup terkenal. Setidaknya orang-orang akan tahu di mana lokasinya, apa saja yang menarik di sana, dan seperti apa gambarannya. Tetapi dugaanku meleset. Pertanyaan yang datang dari teman-teman ketika mengetahui rencana perjalananku ke sana ternyata cukup mengejutkan.
“Dieng itu deketnya Bromo, ya?”
“Deket Surabaya, ya?”
“Kalau naik pesawat, turun di airportnya mana?”
“Oh, Dieng itu di Jawa Tengah, dekat dengan Wonosobo”.
“Wonosobo itu mana?”
Baiklah teman-teman, Dieng itu terletak dataran tinggi yang berada di wilayah kabupaten Banjarnegara dan kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.  Dieng sendiri sebenarnya adalah kaldera yang berada di kawasan gunung berapi aktif dengan beberapa kepundan kawah pada ketinggian di atas 2000 mdpl.
Lalu, apa saja yang menarik di sana? Wah, banyak sekali yang menarik. Secara alamiah, letak geografis Dieng yang merupakan dataran paling tinggi di Jawa dan dikelilingi gugusan gunung seperti Gunung Sumbing, Gunung Sindoro dan Gunung Perahu ini, menyuguhkan panorama alam yang begitu kaya dan luar biasa. Golden sunrise, silver sunrise, gunung berselimut kabut yang eksotis, kawah-kawah yang masih aktif, hamparan pemandangan di lembah dan sejuknya udara adalah sebagian di antaranya. Secara kultural, Dieng juga memiliki kekayaan yang begitu mempesona. Berasal dari kata Di (gunung) dan Hyang (dewa), Dieng juga menyimpan cerita tentang keberadaannya yang digambarkan sebagai kahyangan para dewa. Masih berdirinya candi-candi bernuansa Hindu dan situs-situs bekas wihara mempertegas perjalanan sejarah yang pernah ada. Keduanya menyatu dan saling memperkaya, yang antara lain melahirkan mitos-mitos yang sangat menggelitik untuk dicerna, seperti misalnya tentang keberadaan Kawah Candradimuka, candi-candi yang dinamakan dengan nama tokoh-tokoh pewayangan, Telaga Balai Kambang, dan sebagainya.
Perjalanan dari Jakarta – Batur - Dieng
Bersama suami dan dua orang teman, kami menempuh perjalanan kali ini lewat darat dengan mobil dari Jakarta.   Karena bertepatan dengan long week end, perjalanan agak tersendat. Maklum saja, jalanan ramai dan padat, ditambah ada saja truk atau kendaraan lain yang tiba-tiba mogok, belum lagi kami sempat tersesat gara-gara mengikuti petunjuk GPS yang ternyata membaca jalan buntu sebagai jalan yang tembus ke Dieng.
Somewhere
Karena tidak ingin lewat Wonosobo, dan bermaksud memotong jalan yang lebih dekat, kami menyusuri jalanan dengan perkebunan salak di samping kiri dan kanannya. Di sepanjang jalan yang semakin menanjak itu, jarang kami menemukan rumah-rumah penduduk, warung makan, apalagi pasar. Tapi kami sempat berpapasan dengan seorang bapak yang tengah memikul salak. Karena lapar, kami pun turun dan membeli dua kilo, yang karena tidak ada alat timbangnya lantas dikira-kira dengan plastik kresek yang ditimang-timang. Tradisional sekali. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan dibekali bonus pertanyaan sederhana tapi menggelitik rasa: berjalan kaki dengan beban berat menyusuri jalan yang menanjak, hendak dibawa kemana salak tadi?
Dalam perjalanan itu, kami memutuskan untuk mencoba mencari homestay.  Pertimbangannya, kalau di hotel di Wonosobo, untuk mencapai ke Sikunir (tujuan utama kami) perjalanan masih sekitar 70 km lagi.  Sedangkan bila kami tinggal di homestay di Dieng maka jarak ke Sikunir hanya sekitar 10 km saja.  So, masih lumayan bisa bobok lebih lama, tidak perlu bangun pukul 2 pagi hari …. Yang penting datang langsung mandi air hangat … eh tunggu dulu, emang homestay-nya ada water heater-nya?  Jangan-jangan cuma ember dan air panas yang direbus diceret dengan kayu bakar.
Kami tiba di homestay tengah hari, sandal kami lepas depan pintu dan tanpa alas kaki aku masuk ke dalam ruang tamu …. uuuuuuu … aku loncat ke atas permadani, lalu naik ke sofa sambil melipat kaki … uademe rek!!!  Dingin sekali seperti menginjak es, sampai-sampai aku harus pakai  celana panjang 2 rangkap, baju 2 rangkap plus jaket tebal.  Mandiiiii?  Siapa takut?  Water heaternya ada walau selangnya dipantek di tembok bagian atas, jadi shower cuma bisa geleng-geleng aja di tempatnya.  Jet washernya … sama, selang dipasang dari sebelah atas dan dia tergantung di bawah tanpa bisa ditarik-tarik. Tetapi secara umum, untuk ukuran homestay, yang kami tempati ini cukup lumayan.  Rumahnya bersih, kamar dengan 1 tempat tidur besar untuk 2 orang dengan kamar mandi didalam seharga Rp. 200.000.- per malam.  Kopi, teh dan gula siap 24 jam di atas meja tamu berikut air panas dalam termos.  Mobil juga bisa masuk ke garasi.  Yang empunya rumah super ramah, seperti kebanyakan masyarakat di daerah.  Malam hari kami masih dapat suguhan kentang goreng, asli kentang dieng yang tersohor enaknya.
DIENG PLATEAU
Perjalanan diawali dengan mengunjungi yang deket-deket dulu yaitu ke Dieng plateau dan danau 5 warna (malah ada yang bilang 7 warna), yang sayangnya dari dekat aku hanya bisa melihat  dua warna saja, warna hijau tosca dan warna campuran susu.  Menurut Kabul, pemandu yang menemani kami, dulunya memang ada 5 warna, yakni hijau, biru, merah, kuning, jingga.  Warna kuning dan jingga muncul karena ada emas yang disembunyikan di dalamnya. Emas yang pada jaman dahulu digunakan untuk membuat pintu kerajaan.  Sedangkan warna merah muncul karena di dalamnya ada batu mirah, tetapi batu tersebut sudah hilang karena diambil oleh mahluk halus.
Danau Telaga Warna dan danau Pengilon
Di telaga warna ini tidak ada ikan yang dapat hidup karena airnya mengandung belerang.  Berbeda dengan telaga Pengilon disebelahnya yang berair tawar dan terdapat ikannya, terbukti ketika kami berkunjung ada yang tengah asyik memancing di situ.
KAWAH SIKIDANG
Dari Dieng plateau kami menuju ke Kawah Sikidang. Kedua tempat ini berdekatan dan mudah dijangkau.  Kawah Sikidang ini masih aktif dan memiliki tempat keluar gasnya bisa berpindah-pindah. Bagi yang tidak ingin jalan, disediakan rumah panggung untuk menikmati lokasi dari lantai dua.  Selain itu disini ada semacam pasar kecil yang menjual berbagai jenis makanan, minuman dan sayuran khas Dieng.  Misalnya , lombok Dieng yang bentuknya besar dan gendut, buah Carica baik yang sudah diolah maupun belum, macam-macam jajanan dari kentang, dll.
Kawah Sikidang

GUNUNG SIKUNIR
Hari berikutnya, jam 3 pagi-pagi buta, kami sudah bangun dan bersiap menuju ke gunung Sikunir, salah satu dari 3 gunung yang berada di dataran tinggi Dieng.  Ketinggiannya 2.263 mdpl.  Kami melewati desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di dataran tinggi Dieng (2.093 mdpl).   Ditaburi hujan rintik-rintik dan berselimutkan dingin, serta berbekal lampu senter, tas kamera dalam gendongan berikut tripodnya, kami menembus kegelapan dan melewati semak belukar dan pepohonan dengan penuh semangat.
“Ada ular gak Bul?” tanyaku pada Kabul.
“Kalau ada, ularnya udah mati kedinginan bu”.
Wrong question in the wrong situation.
Menurut Kabul kami akan berjalan sejauh 400 meter, tidak terlalu jauh jaraknya untuk mencapai zona 1 di puncak Sikunir, tetapi gempor juga karena jalanan mendaki, jarang datarnya apalagi jalanan menurun … ya iyalah namanya juga naik gunung.
Dengan napas yang cukup tersengal karena jalanan yang menanjak dan dingin yang menghimpit sampai juga kami di zona 1, sementara suami memilih ke zona 2 yang lebih mendaki lagi. Karena ditinggal Kabul yang mengantar suami, kami pikir tempat ini bisa sebagai spot untuk memotret, sebelum akhirnya melihat ada rombongan berdelapan orang yang turun lagi ke bawah. Instingku bekerja. Karena penasaran, aku ikut turun mau tahu ada apa di bawah sana…  dan olalaaaaa … itu spot yang lebih bagus buat mengambil foto.  Aku pun lari memanggil kedua teman yang lain untuk ikut turun.
Berdiri di spot itu, ketika matahari belum bersinar, nun jauh di bawah lembah terlihat lampu-lampu rumah dan jalanan di dua desa melukiskan noktah putih dalam lembaran gelap.  Dan ketika langit mulai memerah, kabut tipis melayang menutup pedesaan itu lalu merayap naik menyelimuti gunung Sindoro.  Kabut yang semakin tebal seakan membawaku dalam perjalanan astral menuju Sang Pencipta.
Good morning Sindoro
Kami harus cukup puas dengan pemandangan itu karena kabut tebal tidak segera menyingkir.  Menurut informasi, pada bulan Juni – Agustus cuaca lebih cerah, dan kita dapat melihat gunung-gunung yang lain seperti Sindoro, Sumbing, dan Merapi bahkan kota Ungaranpun dengan lebih jelas.  Tetapi pada bulan-bulan itu hawa akan lebih dingin lagi, akan ada embun upas yang menjadi momok bagi petani karena dapat merusak tanaman mereka. Momen yang mungkin akan menarik bagi kami, karena embun itu membeku seperti kristal.
Puas dengan suguhan terbitnya matahari, kami turun ke tempat parkir … ealah ternyata ada danau Cebong disitu.  Kami sempat ngobrol dengan seorang pemancing, katanya ikan-ikan disitu suka makan kentang, jadi umpannya ya kentang, bukan cacing … ternyata di sana kami dan ikan sama-sama suka kentang.
Bukit Batu
Untuk melihat pemandangan yang indah ini kami harus rela naik gunung lagi, tetapi tidak seperti ke Sikunir.  Lokasinya dapat dicapai dari tempat parkir Dieng Plateau Theatre.  Suguhan yang tak kalah indahnya dari Sikunir.  Danau Telaga Warna dan Danau Pengilon yang terletak bersebelahan terlihat jelas dari atas bukit yang hanya cukup buat tiga orang saja, dan bahkan hanya untuk satu orang saja jika ingin beraksi untuk mengabadikannya dengan kamera.  Dari tempat itu, nampak jelas rumah-rumah penduduk, kompleks candi Arjuna, dan kawah Sikidang.   Meskipun belum puas, kami harus rela bergantian dengan wisatawan lain yang datang.
Danau Telaga Warna dan danau Pengilon
Sumur Jalatunda
“Mendaki lagi Bul?” Tanyaku dengan nafas tersengal.
“Tidak bu”.
Bohong ah, kami masih harus menapaki anak tangga lagi … kalau gini baru deh berasa tua, lutut sudah kaku-kaku.
Menurut mitos, sumur Jalatunda ini terjadi gara-gara Bima marah dan menancapkan tumitnya ke tanah.  Sumur ini pula yang konon digunakan mandi oleh anaknya yang bernama Antareja.  Bagi pengunjung, di sini disediakan batu untuk menjajal kemampuannya. Bagi laki-laki, mereka harus melemparkan batu hingga mengenai dinding tebing di seberangnya, jika berhasil maka keinginannya akan terkabul. Sementara itu, bagi perempuan cukup untuk bisa melemparkan batu sampai ke tengah sumur saja.
Sumur Jalatunda
Kawah Sileri
Dari Sumur Jalatunda kami melanjutkan perjalanan ke Kawah Sileri.
“Tidak perlu naik bu, cuma dipinggir jalan”.  Hehehe Kabul pasti ngeledek lagi nih.
“Tapi tidak perlu turun, kan?”
“Boleh kalau mau”.
“Tidak menerima tantangan Bul”.  Kebayang naiknya lagi kalau mau turun ke Kawah Sileri, lagi pula pemandangan jauh lebih bagus bila diabadikan dari atas.
Menurut Kabul, sekitar tahun 90-an air di kawah ini berwarna putih seperti air tajin (air rebusan beras), tetapi karena tercemar oleh air dari pertanian di sekitar lereng-lerengnya maka airnya berubah kehitaman.
Kawah Sileri
Danau Merdada
Ada dua mitos yang diceritakan tentang terbentuknya danau Merdada ini.  Yang pertama ketika Sugriwa dan Subali sedang bertapa memperebutkan keris.  Sugriwa mendapat kerisnya sedangkan Subali mendapatkan warangka keris itu.  Karena marah tidak mendapatkannya dengan lengkap, maka Sugriwa menusukkan keris nya di lereng gunung dimana Subali membuat danau di atasnya, sehingga gunungnya bocor dan membentuk danau yang dinamakan danau Merdada.  Karena kering tanpa air, danau yang dibuat oleh Subali maka dinamakan danau Wurung (wurung berarti tidak jadi atau batal).
Mitos lain menceritakan bahwa danau ini tempat lahirnya Anoman. Pada jaman dahulu barangsiapa yang berani-berani cuci muka disitu akan dikutuk menjadi monyet, contohnya ya seperti Sugriwa dan Subali itu.  Ada yang mau mencoba?
Danau Merdada
Kompleks Candi Arjuna
Pukul 06:00 mentari pagi bersinar, tidak ada hujan, cuaca cerah membuat kami bergegas menuju kompleks candi Arjuna yang tidak jauh dari homestay tempat kami tinggal, hanya sekitar 5 menit dengan kendaraan roda empat.
Kabut tipis membayang dekat ke permukaan tanah, suasana yang sepi dengan pemukiman nun di lereng gunung, dikelilingi oleh bukit-bukit dan pohon pinus berjajar di dua sisi mengapit jalan setapak menuju Bale Kambang di sebelah timur kompleks candi, memberikan imaginasi seolah-olah kami tidak di Indonesia, ditambah adanya domba-domba gendut yang sedang merumput.
Jauh dari polusi, jauh dari keramaian dan kebisingan, yang terdengar hanya bunyi nafas dan suasana magis menanti sang surya menampakkan diri dari balik bukit.
Kompleks candi Arjuna” target=”_blank”>Good morning Sindoro
Kompleks candi Arjuna diperkirakan dibangun pada tahun 809.  Ada empat buah candi yang berada dikompleks ini, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Sembadra dan Puntadewa.  Masing-masing candi kecil ini memiliki keunikan tersendiri, kecuali Puntadewa dan Sembadra yang polos saja.
Candi Arjuna yang paling besar memiliki saluran air berkepala naga yang disebut jaladwara.  Di bagian atas pintu ada arca yang disebut kala, dan di samping kiri kanan bagian tangga ada arca ular yang dinamakan makara.  Di dalam candi ini ada bangunan kecil berbentuk kotak disebut yoni, yang menampung tetesan air dari atap candi meski pun meskipun tidak ada hujan, terlihat ada rembesan air dari atas.  Sekali lagi mitos menceritakan barangsiapa yang meletakkan tangannya di atas yoni dan kejatuhan tetesan air, maka keinginannya akan terkabul.
Candi Semar berseberangan dengan candi Arjuna, bangunan yang lebih kecil ini fungsinya sebagai tempat penyimpanan senjata.  Di dalam candi Semar juga ada yoni.
Candi Srikandi memiliki keistimewaan dengan adanya tiga relief pada dinding luar candi yang melambangkan tiga dewa yaitu Shiwa, Wisnu dan Brahma.
Disebelah kanan kompleks candi Arjuna terdapat tempat peristirahatan yang disebut Darmasala, dan di bagian belakangnya terdapat beberapa lingga yang dulu digunakan untuk tempat penyimpanan abu jenasah.
Dharmasala
Selain itu di bagian belakang kompleks ini ada satu candi yang bernama Selaki yang terletak di selatan candi Arjuna.  Dari jauh sudah terlihat candi Selaki, tetapi tidak menarik untuk didekati.  Menuju ke candi ini melewati jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan.   Di sebelah selatannya malah ada tiang dari bambu terpancang di tanah membentuk segi empat tinggi menjulang, awalnya aku pikir ada pemugaran di bagian bawahnya tapi kok tidak ada terpalnya. Ternyata itu tempat buat lomba merpati … duilah … di lokasi situs purbakala lho, luar biasa.
Candi Selaki
Anak-Anak Berambut Gembel
Photobucket
Satu hal lagi keunikan yang terdapat di Dieng yaitu adanya anak gembel (sering disebut gimbal).  Anak-anak dengan ciri khusus ini hanya terdapat di daerah Wonosobo.  Menurut mitos,  anak-anak ini adalah anak yang istimewa karena merupakan titisan dari Kyai Kaladete, seseorang yang dianggap sebagai orang sakti dan tetua di Dieng.
Anak-anak ini seringkali menjadi anak yang menyebalkan karena apapun yang mereka minta harus dituruti, dan bagi mereka yang memberikan sesuatu sebagai hadiah kepada anak-anak ini juga dianggap akan mendatangkan rejeki.  Ada tiga macam jenis rambut gembel, yaitu gembel pari yang berupa untaian kecil-kecil seperti batang padi, gembel wedus yang menggumpal-gumpal seperti wedus (domba), dan gembel jata yang hanya segumpal di bagian ubun-ubun.  Dan yang paling banyak dijumpai diantara mereka adalah gembel pari. Tidak ada yang tahu apa penyebab anak-anak ini tiba-tiba berambut gembel.
Setelah naik-naik ke puncak gunung, aku dan teman-teman memanggil tukang urut.  Ibu si tukang urut ini dulunya juga anak gembel, selain sebagai tukang urut, dia juga bertugas memandikan dan mencuci rambut anak-anak gembel yang akan dipotong dalam upacara yang diadakan setahun sekali.  Acara itu sendiri sudah menjadi obyek nasional bahkan internasional dan diliput berbagai media.
Kuliner
Soal kuliner, walaupun tidak berlimpah dan banyak ragamnya, di situ ada satu rumah makan yang menyediakan mie ongklok dan selalu ramai dikunjungi pembeli.  Mie onglok ini khas daerah Wonosobo.  Mie yang kuahnya kental dan manis dipadukan dengan sate daging yang telah diberi bumbu kecap, jadi tidak ada lagi bumbu kacangnya.  Rasanya mantap, sayang dagingnya sedikit keras.
Satu porsi mie ongklok dihargai Rp 5.000,- dan satu porsi sate daging berisi 10 tusuk seharga Rp. 15.000,-.  Bagiku makanan ini termasuk nggemesi dan ngangeni dengan porsi mie ongklok-nya yang kecil dan gak nendang, kata orang Jakarta.  Sekali makan cukup, tapi setelah sekian jam pingin lagi … rakus kaleeeee …
Selain mie ongklok di rumah makan tersebut juga tersedia berbagai jenis masakan lain, salah satunya soto ayam yang lumayan enak.  Satu porsi nasi soto ayam seharga Rp. 7.000,-. Selain itu, di pasar juga ada warung-warung makan lain, bisa memilih menu masakan yang telah tersaji dengan harga yang wajar, artinya tidak dimahalin karena melihat kita dari luar kota.
Plus Minus Dieng & Keindahan yang Masih Menanti
Dieng dengan semua kekayaan wisatanya merupakan salah satu tempat favoritku di Jawa Tengah.  Penduduknya yang ramah dan sopan dan tidak adanya pungutan-pungutan liar di tempat-tempat wisata adalah nilai plus yang lain. Semua lokasi wisata menarik biaya tiket masuk dengan harga wajar dengan jumlah karcis yang diberikan sesuai dengan jumlah yang kita bayarkan.  Rata-rata per orang Rp. 5.000,- ditambah kendaraan roda empat juga sama.  Parkir Rp. 2.000,- sama rata di semua lokasi.  Hanya di Sikunir yang mematok biaya masuk Rp. 3.000,- per orang.
Membawa kamera tidak perlu ada tambahan biaya, ini patut diacungi jempol.  Aku paling sebel bila masuk ke lokasi wisata dan dikenakan biaya tambahan hanya karena membawa kamera.  Bukankah kita, para photografer, ikut membantu menyebarkan lokasi-lokasi wisata secara gratis kok malah dikenakan biaya?
Ada banyak sekali tempat-tempat yang menunggu untuk dikunjungi, sebut saja: Telaga Menjer (masih satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat dari desa Banjarnegara), Dieng Volcanic Theater, museum Dieng Kaliasa, air terjun, dll.  Tetapi karena keterbatasan waktu maka kami hanya sempat mengunjungi beberapa lokasi saja.
Jalan raya di Dieng meskipun kecil tetapi bersih dan mulus, hanya jalan menuju ke Sikunir yang rusak, aspal telah terkelupas menyisakan batu-batu yang terserak.
Yang patut disayangkan adalah kurang dirawatnya peninggalan-peninggalan kebudayaan.  Batu-batu candi di Dharmasala dibiarkan teronggok.  Candi Selaki malah terletak di tengah halaman penuh rumput dan genangan air.  Kamuncak, bagian atas candi yang seharusnya terletak diatas salah satu candi yang ada di pelataran candi Arjuna, malah dibiarkan tergeletak di bagian bawah di pelataran.
Semoga hal ini bisa menjadi perhatian dinas pariwisata dan tidak dibiarkan berlarut-larut.

Sumber : Kompasiana, 11 April 2012

Wednesday, January 16, 2013

MENJADI DIRIKU

aku bukanlah dia yang kau puja
bukan gurumu yg selalu menasihatimu
bukan juragan sayur dengan mobil mewahnya
bukan pula juragan buah dengan durenya
apalagi juragan tanah yang rumahnya mewah

karena ku bukanlah mereka
aku apadanya

dan aku memang begini
sikapku jelas tak sempurna
ku akui kubukanlah mereka
ku apadanya

tapi aku bangga
atas segala apa yang ku punya
menjaga apa yang kupunya
mesyukuri setiap anugrah darinya

terimalah aku seperti apa adanya
ku hanya manusia biasa
ku tak sempurna