Sunday, November 22, 2009

WISATA ARUNG JERAM WONOSOBO


Objek wisata minat khusus berupa arena arung jeram belakangan ini makin banyak penggemarnya. Olahraga pembangkit adrenalin tubuh ini makin banyak bermunculan dimana-mana. Salah satunya seperti yang kini terus dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dengan memanfaatkan jeram yang ada di aliran Sungai Serayu. Arung jeram di sungai ini lambat laun makin diminati wisatawan nusantara.

Sungai Serayu terletak di Kabupaten Wonosobo - Banjarnegara, Jawa Tengah kira-kira 2,5 jam perjalanan dari Jogjakarta dengan melewati lereng Gunung Sindoro-Sumbing yang menyajikan kesejukan dan panorama alam pegunungan. Sungai ini berada pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut dan sangat mudah dijangkau karena terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan kota Wonosobo dan Banjarnegara tepatnya berdekatan dengan jalan raya Tunggoro-Singomerto.

Mengenai tingkat kesulitan arung jeram di Kabupaten Wonosobo ini bervariasi, mulai dari grade dua sampai grade empat dengan jumlah arung jeram sebanyak 30 jeram. Pada grade yang lebih rendah tingkat kesulitan yang ada masih relatif mudah namun pada grade yang makin tinggi tingkat kesulitan yang harus dilalui pun semakin berat. Namun, bagi peminat arung jeram yang sudah terbiasa berarung jeram dan profesional mengendalikan perahu, makin tinggi tingkat kesulitannya justru makin mengasyikkan dan menarik

Sungai Serayu dengan panjang 25 km dapat total ditempuh selama kira-kira 4,5 - 5 jam pengarungan, tepatnya bisa dari jembatan di Desa Blimbing atau Desa Tunggoro (Kab. Wonosobo) serta Desa Prigi (Kab.Banjarnegara) ke Desa Singomerto, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Waktu tempuh ini sudah termasuk istirahat di tengah perjalanan. Arung jeram ini hanya boleh diikuti oleh wisatawan berusia antara 10-60 tahun.

Pada hari Sabtu dan Minggu, apalagi hari libur panjang, banyak rombongan wisatawan nusantara berkunjung ke objek wisata ini. Paling tidak ada delapan sampai 10 rombongan, di mana tiap rombongan beranggotakan lima hingga 12 orang. Untuk menuju ke lokasi objek wisata minat khusus arung jeram ini dengan mobil dari Kota Wonosobo dibutuhkan waktu sekitar 30-40 menit atau berjarak tempuh sepanjang 26 km.

Bagi wisatawan yang ingin berarung jeram, pengelola objek wisata ini telah menyediakan peralatan komplit dengan biaya Rp150 ribu hingga Rp200 ribu untuk wisatawan nusantara dan sekitar Rp350 ribu bagi wisatawan mancanegara. Biaya itu sudah termasuk sewa perahu karet, jaket pelampung, asuransi, jasa guide, dan konsumsi. (*/cax)

sumber : kapanlagi.com

Saturday, November 21, 2009

TELAGA MENJER


Potensi pariwisata di Kabupaten Wonosobo sangat prospektif untuk terus dikembangkan, khususnya wisata alam yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun Mancanegara.

Potensi pariwisata yang sudah dikenal hingga ke mancanegara adalah wisata komplek candi Dieng, telaga Warna, Perkebunan Tambi serta Arung jeram. Begitu banyaknya potensi alam di Wonosobo, pantas saja Wonosobo disebut sebagai kota seribu telaga.

Disana ada telaga warna, telaga Menjer, telaga Bedakah, Kalianget, dan lain sebagainya.

Ketika memasuki Dataran Tinggi Dieng, wisatawan akan menjumpai sebuah jalan bercabang. Kurang lebih 400 meter dari jalan cabang pertama dapat disaksikan pesona alami Telaga Warna yang tidak henti-hentinya membiaskan aneka warna cemerlang bagaikan pelangi dipermukaan air. Warna-warna yang terlihat di telaga ini sesungguhnya hanya akibat refleksi balik dari aneka unsur material danbelerang yang tertimpa sinar matahari di dalam perut telaga.

Telaga Menjer, merupakan telaga alam terluas di Kabupaten Wonosobo. Berada di ketinggian 1300 meter diatas permukaan laut dengan luas 70 Ha dan kedalaman 45 meter. Telaga Menjer terletak didesa Maron Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo 12 km sebelah utara kota Wonosobo.

Untuk mencapai lokasi telaga tidak terlalu sulit karena berada di tengah-tengah jalur jalan wisata Wonoso-Dieng dengan kondisi jalan sudah beraspal. Telaga Menjer merupakan obyek wisata tirta berupa telaga terbesar di Kabupaten Wonosobo. Luas telaga kira-kira 70 hektar dengan kedalam air 55 meter.

Disini telah disiapkan berbagai macam fasilitas menarik lain berupa perahu pesiar yang siap disewa wisatawan untuk mengelilingi dan bercengkerama dengan air telaga sambil menyaksikan keindahan panorama alam di sekelilingnya. Di tempat ini juga terdapat taman yang cukup menarik, bumi perkemahan dan tempat parkir yang sangat luas.

Kegiatan lain yang bisa dilakukan wisatawan adalah memancing karena di dalam air telaga terdapat berbagai jenis ikan dalam jumlah cukup banyak. Air Telaga Menjer di samping digunakan untuk kegiatan wisata juga dimanfaatkan untuk menggerakkan dua buah turbin dari Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 26 megawatt.

Keindahan alam di kawasan Telaga Menjer cukup menjanjikan untuk dapat dinikmati. Lingkungannya masih tampak asri, dengan topografi berbukit-bukit dan ditumbuhi hutan pinus, merupakan tempat yang sungguh-sungguh menawan untuk melepaskan lelah dan kepenatan.

Telaga Bedakah, telaga ini terletak didesa Bedakah sebelah timur laut kota Wonosobo, dilereng Sindoro. Selain telaga juga terdapat Gua Angin yang selalu mengeluarkan angin dan Gua Lawa yang merupakan tempat berlindungnya kelelawar.

Air terjun Sikarim, memiliki ketinggian 80 meter dengan latar belakang bukit yang menjulang dan banyak ditumbuhi perdu dan tanaman langka. Terletak di desa Mlandi Kecamatan Garung 20 km sebelah utara kota Wonosobo.

Kebun Karang Gantung, terletak di kelurahan Selomerto Kecamatan Selomerto, kurang lebih 6 km sebelah selatan kota Wonosobo. Kebun Karang Gantung adalah kebun bambu yang cukup luas dengayr latar belakang Batu Tua yang sangat umk dan dikenal dengan nama Watu Tedeng.

Kalianget, sebuah pemandian alam air panas yang terletak 3 kilometer sebelah utara Kota Wonosobo pada jalur jalan wisata Wonosobo - Dataran Tinggi Dieng. Air ini mengandung asam sulfat (belerang) cukup tinggi. Sehingga memiliki khasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit seperti kudis, kurap, kadas, panu dan sebagainya. Keberadaan pemandian air panas ini sebenarnya sudah sangat lama. Dahulu sebelum tempat ini dijadikan pemandian umum, biasanya digunakan oleh penduduk di sekitarnya untuk mengobati berbagai penyakit yang dideritanya. Masyarakat di sana percaya bahwa air panas yang sumbernya berasal dari pegunungan mempunyai banyak manfaat, selain untuk menyembuhkan penyakit juga dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh keberuntungan. n gir/dsb


sumber :surabaya post.co.id

Monday, November 16, 2009

Tambi Agro Wisata


Terletak 16 km arah utara kota Wonosobo atau kurang lebih 20 menit perjalanan dengan mobil, Agro Wisata Perkebunan Teh Tambi merupakan pilih an wisata yang menarik bagi pencinta alam pegunungan. Tempat wisata ini dilengkapi dengan kamar-kamar penginapan yang bagus dan komplit. Akan ada pemandu yang membawa berkeliling perkebunan teh, melihat karyawan pemetik teh sedang bekerja dan ke dalam pabrik teh melihat prosesing teh sejak dari daun sampai siap saji. Tempat-tempat wisata menarik lain nya yang berdekatan dengan PT Tambi antara lain Dataran Tinggi Dieng,
Telaga Menjer, dan tempat perkemahan Jlumprit.

Dulunya (1885) perkebunan ini merupakan milik Belanda dengan nama Bagelen Thee & Kina Maatschappij yang dikelola oleh NV John Peet berkantor di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka, diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang selanjutnya setelah Konferensi Meja Bundar kembali diserahkan kepada pemilik semula. Tahun 1954 perkebunan dijual kepada NV Eks PPN (Pegawai Perkebunan Negara) Sindoro Sumbing. Tahun 1954 NV Eks PPN Sindoro Sumbing bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Wonosobo mendirikan sebuah perusahaan baru bernama NV Tambi dan yang sekarang telah berganti nama menjadi PT Tambi.

Luas areal PT Tambi meliputi 829,14 ha terdiri atas 3 unit perkebunan yaitu Unit Tambi, Unit Bedakah dan Unit Tanjungsari. Produk utama berupa teh hitam dengan tingkat produksi per tahun sebanyak 1.800 - 2.000 ton. Lokasi perkebunan terletak di lereng sebelah barat Gunung Sindoro dan Sumbing di bagian tengah Jawa Tengah. Ketinggian 800 - 2.000 meter di atas permukaan laut dengan tingkat curah hujan 2.500 - 3.500 mm per tahun.

sumber : http://suharjawanasuria.tripod.com/agro_wisata_tambi.htm

Wednesday, October 14, 2009

Pantai Baron


Pantai Baron terletak di Desa Kemadang, Kecamatan Tanjungsari, sekitar 23km arah selatan kota Wonosari, merupakan pantai pertama yang ditemui dari rangkaian kawasan Pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Krakal dan Sundak.

Di pantai ini juga terdapat muara sungai bawah tanah yang bisa digunakan untuk pemandian setelah bermain di laut. Selain itu wisatawan juga dapat menikmati aneka ikan laut segar maupun siap saji, dengan harga terjangkau, termasuk menu khas pantai Baron yaitu Sop Kakap. Pada sisi sebelah timur dapat dicapai melalui jalan setapak yang melingkar terdapat bukit kapur wisatawan bisa beristirahat di gardu pandang, sambil menghirup udara pantai yang menyegarkan. Kurang lebih 10 km kea rah barat dari Pantai Baron terdapat Pantai Parang Racuk dengan bukitnya yang menjulang dan terjal, dengan leluasa dari atas bukit.

Pada setiap bulan Syuro tahun Jawa masyarakat nelayan setempat menyelenggarakan Upacara Sedekah Laut yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panenan ikan yang melimpah dan keselamatan mencari ikan di laut.


sumber : yogyes.com


Wisata Pantai Logending!

Ada pintu gerbang Nyi Roro Kidul indah memikat dan menarik menyongsong kedatangan Anda. Sebuah fenomena alam yang hanya dapat Anda saksikan di sini.

Legenda Nyi Roro Kidul tidak dapat dipisahkan dari Pantai Selatan Laut Jawa. Hal ini diperkuat lagi oleh beberapa peninggalan dan petilasannya yang konon ditinggalkannya di beberapa tempat, yang masih dapat kita saksikan saat ini. Keberadaan peninggalan-peninggalan inilah yang menyebabkan Pantai Selatan Laut Jawa sepertinya mempunyai daya magnit yang begitu kuat sehingga selalu mengundang wisatawan untk datang dan datang lagi.

Salah satu dari pantai-pantai tersebut adalah Pantai Logending, yang terletak di Gombong Selatan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Pantai ini dapat dikatakan terlengkap dibandingkan pantai-pantai lain. Selain diapit oleh dua pegunungan yang membuat pemandangan indah, pantai ini juga menjadi lahan para nelayan untuk menunjang kehidupan rutinnya sehari-hari. Tiap hari puluhan jongkong berjejer di pantai itu, kecuali jongkong-jongkong yang melaut. Pemandangan seperti ini merupakan ciri khas dan spesifik pantai nelayan. Di pantai ini, juga terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) dan penangkaran ubur-ubur.

Setelah menikmati keindahan Goa Petruk, perjalanan dapat dilakukan ke arah selatan lagi ± 11,5 km dari Goa Petruk, anda akan sampai ke Pantai Logending untuk menikmati pemandangan laut atau berkemah di tepi pantai. Ada pintu gerbang Nyi Roro Kidul indah memikat dan menarik menyongsong kedatangan Anda. Sebuah fenomena alam yang hanya dapat Anda saksikan di sini.

Yang paling menarik untuk diperhatikan adalah batu karang berbentuk pintu gerbang. Pintu gerbang penuh misteri ini adalah Pintu Gerbang Nyi Roro Kidul. Dari kejauhan, pintu gerbang yang memikat ini terlihat seperti seekor beruang yang sedang minum air laut.

Keberadaan pintu gerbang yang satu-satunya itu, semakin mencuatkan nama Pantai Logending sebagai objek wisata di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Dan ini pulalah panorama indah yang disajikan untuk Anda

TRAVEL TIPS

Secara reguler objek wisata ini dilalui oleh kendaraan umum, jadi untuk sampai ke lokasi tidaklah sulit. Dari Kebumen, naiklah kendaraan umum dan turunlah di Gombong. Dari sini kemudian dilanjutkan dengan naik angkutan wisata.

Informasi:
Diparda TK II Kebumen
Jl. Pahlawan, No. 136 Kebumen, Jawa Tengah. Telp: (0287) 81988

Koeswintoro
Terminal Wisata
Jl. Yos Sudarso, No. 565, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah.
Telp: (0287) 71250

Sumber :
www.indotoplist.com

Saturday, October 10, 2009

Sadar Diri

Belum juga satu bulan aku mulai beradaptasi dengan ganasnya Ibu Kota, berbagai masalah mulai datang silih berganti. Masalah seperti tak henti-hentinya menghantui hidupku. Seperti yang baru saja saya alami.
Sebenarnya masalah ini mungkin sangat sepele bagi sebagian orang, tapi bagi saya tidak begitu, karena saya sadar, siapa diri saya. Saya hanyalah orang kampung yang mencoba mengadu nasib di ganasnya Ibu Kota. Famili, saudara, bahkan orang tua, semuanya telah saya tinggalkan.
Sampai suatu ketika, saya mendengar berita yang sangat tidak enak untuk di dengar, terutama bagi saya pribadi. Memang saya sadar, saya siapa. Namun...
Sebagian orang menganggap apa yang telah saya lakukan adalah suatu kesalahan yang sangat besar, yang sudah di luar batas...tapi apa iya ??
yaaachh..mudah-mudahan hanya perasaan saya semata, yang kadang hanya memperkeruh situasi.
Di tengah kesendirianku selama ini, aku hanya bisa berdoa, semoga yang maha kuasa memudahkan semua urusan hamba-Nya dan semua orang disekitarnya terutama yang sangat berjasa baginya.
Ya Allah....
Engkau yang memiliki kasih dan sayang, Engkau yang memudahkan segalanya...maka curahkanlah kasih sayang-Mu pada kami, mudahkanlah segala urusan kami...
Ya Allah...
Engkau yang mengabulkan segala permohonan, maka kabulkanlah permohonan kami...
Amieenn...

Sunday, September 13, 2009

Pemanfaatan Buah Carica menjadi Sirup Buah Carica


PENDAHULUAN
Kota Wonosobo yang terletak kurang lebih 120 kilometer dari Semarang sebagai ibukota propinsi, memang menyimpan banyak potensi wisata, baik wisata alam maupun wisata boga. Wisata alam yang dapat dikunjungi antara lain Candi Hindu Pendawa Lima yang dibangun pada abad kesembilan, kawah Dieng yang sampai sekarang masih aktif, Telaga Warna dan Telaga Balaikambang. Selain itu kita juga bisa menemui anak-anak berambut gimbal sejak lahir.

Sedangkan wisata boga yang ditemui juga tak kalah menarik. Di sana kita bisa menemui berbagai camilan khas Wonosobo seperti kacang koro, kripik jamur, dendeng, bahkan purwaceng (Pimtinella pruacen), yang dikenal sebagai obat kuat (viagra) lokal. Kemudian yang paling khas di Wonosobo adalah Carica. Carica adalah buah semacam pepaya, yang disajikan dalam campuran sirup, dan dikemas dalam botol serupa botol selai.

Buah carica masuk dalam keluarga pepaya. Bedanya, jika pepaya biasa lebih dikenal sebagai tumbuhan tropis yang memerlukan banyak panas dan matahari, maka carica termasuk keluarga pepaya yang hanya bisa tumbuh di tempat tinggi, memerlukan temperatur yang cukup dingin, dan banyak hujan. Kondisi tersebut sangat cocok dengan iklim Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo. Nama latin buah carica ini adalah Carica Pubescens atau Carica Candamarcensis, atau kadang dikenal sebagai Mountain Papaya, atau di antara penduduk setempat dikenal sebagai gandul Dieng.

Menjadi petani buah carica tidak terlalu sulit, karena usia pohon carica yang relatif panjang, bisa sampai 20 tahun bahkan lebih. Pohon carica yang saat ini dipanen oleh petani di Pegunungan Dieng sudah ditanam sejak tahun 1980an. Kurang lebih satu tahun setelah dipanen, pohon carica tersebut sudah bisa menghasilkan buah yang baik. Jika mutu buah sudah mulai menurun, biasanya setelah enam bulan, petani tinggal memangkas pohon tersebut. Dari pucuk-pucuknya akan tumbuh tunas baru yang segera menghasilkan buah yang lebih baik.

Proses pemasakan carica oleh semua produsen adalah serupa, bahkan serupa juga dengan pemasakan buah lain dalam sirup, seperti buah salak, mangga dan nanas. Oleh karena itu, untuk bisa bertahan dalam bisnis tersebut, mereka bersaing dalam hal harga dan rasa. Karena kemudahan-kemudahan inilah, maka sampai saat ini di Wonosobo terdapat kurang lebih 20 industri kecil yang memproduksi buah carica.

ASPEK PEMASARAN
Pengolahan buah carica menjadi buah carica dalam sirup sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Bahkan di Wonosobo juga pernah berdiri PT. Dieng Jaya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang industri pengalengan buah-buahan agro (hortikultura) dan jamur merang (champignon), dengan jumlah pegawai antara 3200-3500 orang. Dengan produksi sekitar 1,5 juta ton jamur segar per tahun, PT. Dieng Jaya waktu itu merupakan produsen jamur terbesar di dunia. Bandingkan dengan total produksi jamur segar dari Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang hanya sekitar 1,3 juta ton per tahun.

Akan tetapi karena terus menerus mengalami defisit sejak tahun 1995, akhirnya PT. Dieng Jaya berhenti beroperasi pada tahun 2003. Pengaruh penutupan PT. Dieng Jaya tidak hanya berpengaruh pada lebih dari 3200 keluarga karyawan yang mendadak kehilangan pekerjaan, tetapi juga pada sekitar 700 keluarga petani plasma yang bekerja sama dengan perusahaan ini menggunakan pola inti rakyat (PIR).

Setelah PT. Dieng Jaya tidak beroperasi lagi, para agen dan toko-toko yang menjual produk buah carica dalam sirup menjadi kesulitan mencari bahan pasokan. Permintaan pasar yang cukup besar ini kemudian ditanggapi oleh para produsen industri kecil di Wonosobo dan sekitarnya. Saat ini diketahui ada sekitar 20 produsen buah carica dalam sirup di Wonosobo. Sedangkan jumlah petani sulit diketahui secara pasti karena setiap petani di Pegunungan Dieng pasti memiliki pohon carica. Ini disebabkan karena pohon carica sangat mudah ditanam, berselang-seling dengan tanaman-tanaman lain seperti kentang, kacang-kacangan, dan lain sebagainya.
Permintaan komoditas buah carica di setiap pelaku usaha akan diuraikan selengkapnya pada bagian berikut ini.

PETANI CARICA
Permintaan buah carica yang dipanen oleh para petani carica berasal dari para pengusaha industri rumah tangga buah carica dalam sirup. Dari wawancara dengan para petani carica, rata-rata para petani carica dapat memetik 4-5 kuintal buah carica per minggu, yang dibagi dalam dua kali pengiriman kepada pelanggan. Rata-rata setiap petani memiliki 1-5 orang pelanggan tetap. Beberapa petani langsung mengirimkan buah carica tersebut kepada pelanggan, dan sisanya lebih suka menjualnya dulu kepada pengepul, tetapi jumlahnya tidak banyak. Ini disebabkan karena jika mereka menjual langsung kepada pelanggan, yaitu para produsen, harganya akan lebih tinggi dibandingkan jika mereka menjualnya melalui pengepul.

Jika harga per kilogram buah carica dari petani adalah sebesar Rp.1.750,00, maka setiap minggunya rata-rata seorang petani bisa memperoleh pendapatan kotor kurang lebih sebesar Rp.700.000,00 sampai Rp.875.000,00. Jika si petani sudah memiliki mobil bak terbuka, maka untuk satu kali pengiriman, biaya yang diperlukan hanya sebesar Rp.150.000,00, yaitu untuk biaya kuli dan bahan bakar. Dengan demikian, setiap minggunya seorang petani bisa mendapatkan Rp.550.000,00 sampai Rp.625.000,00 per minggunya. Untuk waktu-waktu tertentu, harga per kilogramnya bisa naik menjadi Rp.2.000,00, sehingga pendapatan petani bisa lebih banyak lagi.

Yang unik adalah cara pembayaran para pengusaha kepada para petani. Kadang-kadang, pembayaran memang dilakukan secara tunai. Tapi di lain waktu, pengusaha membayar petani dalam bentuk pinjaman barang. Misalnya jika petani ingin membeli pupuk, bibit, atau bahkan lemari es dan parabola, maka pengusaha akan menalangi pembelian terlebih dahulu. Setelahnya, para petani akan membayar cicilan dengan buah carica. Dasarnya hanya saling percaya, dan sejauh ini tidak pernah ada masalah. Salah satu hal yang mendasari pola ini adalah karena para petani belum mengenal bank. Dengan demikian, potensi menabung para petani ini sangat besar.

PRODUSEN
Tidak semua produsen carica beroperasi setiap hari. Beberapa dari mereka hanya berproduksi dua atau tiga hari sekali. Hari-hari lain digunakan untuk memproduksi makanan lain yang juga merupakan makanan khas dari Wonosobo, seperti kripik jamur, kacang koro, dan lain sebagainya. Padahal dari wawancara dengan responden diketahui bahwa permintaan yang masuk cukup banyak. Dari hasil wawancara dengan responden yang cukup beruntung dapat berproduksi setiap hari, diketahui bahwa mereka dapat menghasilkan 1000 botol per harinya, dan tetap belum dapat memenuhi semua kebutuhan pelanggan.

Sebagai gambaran, salah seorang responden baru bisa menyediakan 450 box carica dari 2000 box yang sebetulnya dibutuhkan oleh pelanggannya dari Surabaya, yang memasok kebutuhan carica di Jawa Timur dan Bali (1 box berisi 12 botol carica). Kemudian secara rutin responden tersebut juga mengirim buah carica ke Semarang dan Yogyakarta, masing-masing dua kali dalam sebulan, sebanyak 100 botol, yaitu jumlah maksimal yang termuat dalam satu mobil box. Setiap bulan, responden tersebut juga masih harus memasok kurang lebih 20 toko yang ada di Wonosono dan sekitarnya, masing-masing kurang lebih 50 box per toko, di samping penjualan yang langsung dilakukan oleh pengusaha kepada pelanggan.

Sedangkan permintaan yang semakin meningkat menjelang hari raya sebanyak dua kali per tahun belum bisa terlayani. Demikian juga permintaan dari Jawa Barat dan Jakarta belum bisa terlayani.

ASPEK TEKNIS DAN PRODUKSI
Pohon carica termasuk pohon yang mudah sekali ditanam dan dipelihara. Buahnya mirip pepaya karena memang berasal dari satu keluarga. Berwarna kehijauan, atau kekuningan jika sudah cukup matang, hanya saja bentuknya lebih kecil dari pepaya. Bedanya, buah carica tidak bisa dimakan langsung, karena daging buahnya banyak mengandung getah, sehingga rasanya pahit dan menyebabkan gatal di tenggorokan. Penduduk setempat menikmati buah ini dengan cara membelahnya menjadi dua dan mengambil bijinya untuk disesap. Karena rasanya yang manis, biji inilah yang nantinya akan dibuat sirup dan dapat memberikan rasa khas pada buah carica dalam sirup. Pada bagian berikut akan diuraikan aspek teknis dan produksi dari dua pelaku, yaitu petani dan produsen industri kecil buah carica.

TINGKAR PETANI
Selain pemandangan yang sangat indah, kondisi alam yang demikian sangat cocok dan ideal untuk menanam berbagai macam buah dan sayuran. Para petani memanfaatkan potensi ini dengan memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk ditanami. Berbagai macam sayuran yang sulit untuk ditanam di tempat lain, sangat mudah didapati di pegunungan ini. Salah satunya adalah buah carica. Pohon carica terbanyak terdapat di Desa Sembungan Kecamatan Dieng Kabupaten Wonosobo, yang konon merupakan desa tertinggi di Propinsi Jawa Tengah.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan tim penulis, tidak dapat diketahui secara pasti kapan pertama kali buah carica ditanam di pegunungan Dieng. Beberapa sepakat bahwa seorang ahli pertanian dari Australia yang membawa bibit tanaman itu ke Dieng. Beberapa lainnya berpendapat bahwa sebenarnya tanaman tersebut telah ada sejak berpuluh tahun yang lalu. Tapi yang jelas, tanaman tersebut mulai dimanfaatkan sejak tahun 1980-an.

Pemanfaatan buah carica dimulai ketika pada tahun 1980-an Dinas Perindustrian memberikan kursus cara pengawetan buah-buahan. Beberapa ibu rumah tangga menerapkan kursus tersebut dengan mencoba mengawetkan berbagai macam buah seperti salak, kedondong dan mangga. Akan tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Salah satu sebab utamanya adalah karena belum adanya teknologi yang mendukung pengawetan buah secara alami, sehingga akhirnya buah-buahan tersebut cepat busuk atau cita rasanya cepat berubah. Baru setelah mencoba pengawetan buah carica, diperoleh hasil yang memuaskan. Buah carica yang dikemas dalam botol bisa tahan sampai kurang lebih dua tahun. Sedangkan buah carica yang dikemas dalam gelas cup, bisa tahan sampai kurang lebih enam bulan. Tentu saja keduanya dengan catatan bahwa kemasan tidak rusak. Pernah dicoba untuk melakukan pengemasan buah carica dalam kaleng. Tetapi ternyata hasilnya sangat mengecewakan. Buah carica cepat busuk, dan merusak kalengnya.

Setelah menyadari potensi bisnis pengawetan buah carica inilah, maka sekitar tahun 1985, Ibu Piet Sumarto yang menjadi pelopor dalam bisnis ini, meminta para petani di Pegunungan Dieng supaya menanam pohon carica. Karena kemudahan penanamannya, maka di pegunungan Dieng jarang terdapat satu areal tanah pertanian yang hanya ditanami pohon carica. Rata-rata pohon carica ditanam sebagai selingan penanaman kentang dan kubis. Hanya ada beberapa areal khusus yang ditanami pohon carica. Jika khusus hanya ditanami carica, maka untuk areal tanah pertanian seluas setengah hektar, dapat ditanami sekitar 3000 pohon carica, dengan jarak tanam 1-2 meter. Pohon tersebut dapat langsung dipanen pertama kali setelah ditanam kurang lebih selama satu tahun. Dan setelahnya rata-rata dapat dipanen dua kali seminggu.

Selain itu juga dilakukan perawatan dengan menggunakan pupuk kompos/organic. Untuk areal seluas setengah hektar tersebut di atas, diperlukan sekitar lima ton pupuk. Pemupukan ini dilakukan 6-12 bulan sekali, tergantung seberapa sering pohon tersebut dipanen. Semakin sering dipanen, semakin cepat menurun jumlah dan kualitas buahnya. Setelah dipanen, buah carica juga tidak memerlukan tempat khusus untuk penyimpanan. Dengan demikian tidak diperlukan adanya biaya storage/pergudangan. Jika semua pohon sedang siap dipanen, dari 3000 pohon tersebut bisa diperoleh kurang lebih 4-5 kuintal buah carica masak.

Sementara terdapat kesediaan sayur dan buah-buahan yang sangat berlimpah di Dieng, maka petani hanya perlu membeli beras dan keperluan pokok lain untuk sandang dan perumahan. Karena itulah maka biaya hidup di Dieng masih cukup rendah. Dengan demikian, potensi tabungan masyarakat di desa ini sangat tinggi, mengingat selama ini belum ada BPR atau lembaga keuangan lain yang masuk ke desa ini. Padahal dengan memperhitungkan pendapatan yang rata-rata sebesar Rp.550.000,00 sampai Rp.625.000,00 per minggu dari penjualan buah carica (belum termasuk hasil penjualan buah-buahan lain), maka diperkirakan setiap minggunya para petani dapat menabung sebesar Rp.400.000,00 sampai Rp.500.000,00. Akan tetapi karena belum adanya fasilitas menabung tersebut, maka penduduk desa ini membelanjakan uangnya untuk barang-barang konsumtif. Sebagaimana dapat dilihat secara langsung, rata-rata petani di desa ini memiliki parabola. Kesukaan pada parabola ini disebabkan karena tingginya letak desa ini, sehingga pemancar televisi tidak dapat menjangkau.

Dari hasil penelusuran tim penulis, buah carica ini pernah diuji coba untuk ditanam di Malang Jawa Timur yang juga merupakan daerah dingin, dan hasilnya cukup menggembirakan. Akan tetapi karena adanya keterbatasan biaya, maka saat ini penanaman untuk sementara dihentikan.

TINGKAT PRODUSEN
Jumlah buah carica dalam botol yang dapat diproduksi oleh para pengusaha industri kecil sangat beragam. Beberapa produsen bahkan hanya memproduksi buah carica selama beberapa hari dalam seminggu, diselang-seling dengan produksi makanan kecil lain yang juga merupakan ciri khas kota Wonosobo, seperti kacang koro, kripik tempe, dan lain sebagainya.
Proses produksi pada industri pengawetan buah carica dalam sirup:

Pengupasan
1. Mayoritas pengupasan dilakukan oleh tenaga kerja wanita.
2. Mengingat sifat buahnya yang sangat banyak mengandung getah, pada saat pengupasan sangat dianjurkan untuk mengenakan sarung tangan supaya tidak gatal (menurut keterangan para pekerja, getah buah tersebut sangat baik untuk mengobati kaki yang kapalan. Mengenai benar tidaknya keterangan tersebut, masih perlu dibuktikan dengan penelitian yang mendalam).
3. Setiap orang tenaga kerja mampu mengupas ½ kuintal buah per harinya.

Pemisahan buah dari bijinya
1. Setelah dikupas, biji buah dikeruk dan dipisahkan dengan daging buahnya. Biji buah inilah yang nantinya diperas untuk membuah sirup yang memberi cita rasa khas pada buah.
2. Biji buah ini berwarna hitam, dan di luarnya ada selaput putih yang membungkus seluruh biji. Biji dan selaput putih inilah yang disesap-sesap untuk menikmati buah carica secara tradisional.

Pemotongan
1. Setelah dipisahkan dengan bijinya, buah dipotong-potong dengan bentuk yang menarik dan supaya dapat dikemas dalam botol.
2. Biasanya bentuk yang dipilih adalah segitiga, dipotong mengerucut mulai pangkal buahnya.

Penggaraman dan pencucian
1. Pencucian buah dilakukan dua kali: pertama kali setelah buah selesai dikupas, dan kedua kalinya setelah buah selesai dikupas.
2. Pada kedua tahap pencucian tersebut selalu disertakan kurang lebih dua sendok makan garam. Gunanya adalah untuk menghilangkan rasa pahit yang berasal dari getah.

Pembuatan sirup buah
Caranya adalah :
1. Biji beserta selaput yang melapisinya dengan ditambah sedikit air diperas, sampai keluar cairan kental yang berbau khas buah carica. Pemerasan dapat dilakukan berkali-kali sampai aroma khas tersebut hilang.
2. Setelah diberi air dan gula pasir secukupnya, sirup tersebut direbus sampai mendidih.
3. Setelah mendidih, sirup yang sudah jadi harus disaring untuk dipisahkan dengan ampasnya.

Pengemasan
Setelah buah dipotong-potong dan dicuci bersih dan setelah sirup jadi, keduanya langsung dicampur dan dikemas dalam botol. Prosesnya adalah sebagai berikut :
1. Botol dan tutup yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci bersih.
2. Kemudian panci/dandang berisi air yang akan digunakan juga terlebih dahulu dipanaskan sampai airnya mendidih.
3. Selanjutnya buah yang telah dipotong-potong terlebih dahulu dimasukkan ke dalam botol-botol.
4. Setelah itu, botol yang telah berisi potongan buah ditimbang.
5. Kemudian ditambahkan sirup sampai botol penuh dan dikukus selama kurang lebih 15 menit.
6. Setelah dikukus, botol diambil dari dandang, kembali dipenuhi dengan sirup, dan ditutup rapat-rapat.
7. Sedangkan proses pengawetan dilakukan dengan sederhana. Yaitu botol yang telah ditutup direbus di dalam panci bermulut lebar selama kurang lebih 10 menit. Cara pengawetan ini bisa membuat buah carica dalam sirup bertahan sampai kurang lebih 2 tahun.

Packing
Proses packing tidak langsung dilakukan. Setelah buah carica dan sirup dimasukkan dalam botol dan diawetkan, ditunggu dulu sampai sekitar 7 hari supaya sirupnya bisa meresap ke dalam buah, baru dipacking dan dikirimkan kepada pelanggan. Cara packing adalah dengan memasukkan botol-botol tersebut ke dalam kotak khusus. Setiap kotak berisi 12 botol. Buah carica dalam sirup siap untuk dikirim.

Sebagaimana telah disebutkan di depan, kecuali kemasan dalam botol yang harganya berkisar antara Rp.4750 sd Rp.5000 per botolnya, buah carica dalam sirup juga ditawarkan dalam kemasan cup plastik. Akan tetapi dalam kemasan ini buah carica hanya bertahan selama maksimal 6 bulan saja. Oleh karena itu harganya juga lebih murah, hanya sekitar Rp.2500,00 sampai Rp.3000,00 saja per cup-nya. Dengan 15 orang tenaga kerja, setiap harinya dapat diproduksi 1000 botol buah carica. Perincian pembagian kerjanya adalah sebagai berikut :

1. Sepuluh orang tenaga kerja (umumnya adalah wanita) bertugas mengupas, memotong-motong daging buah, mencuci dan menggarami, memeras bijinya dan memprosesnya sampai menjadi sirup, memasuk-masukkan daging buah yang telah dicuci ke dalam botol, menimbang, mengukus, dan merebusnya untuk sterilisasi. Total buah carica yang diproses adalah sebanyak 3-4 kuintal per harinya. 2 orang tenaga merupakan tenaga tetap dengan gaji Rp.400.000,00 per bulan. Dua orang inilah yang memegang resep pemasakan buah sirup carica sehingga menghasilkan cita rasa yang tinggi. 8 orang lainnya adalah tenaga kerja harian dengan upah Rp.15.000,00 per hari, dan bekerja 5-6 hari dalam seminggu. Baik tenaga kerja tetap maupun harian bekerja selama kurang lebih 8 jam, dari pukul 08.00 pagi sampai 16.00 WIB. Jika dihitung secara rata-rata, gaji pegawai tetap dengan upah tenaga harian ternyata hampir sama. Bedanya, setiap harinya tenaga harian bisa berbeda-beda orangnya.

2. Tiga orang tenaga kerja laki-laki bertugas untuk melakukan persiapan seperti mengangkut buah-buah carica yang masih mentah, membeli minyak tanah untuk memasak, mempersiapkan kompor dan dandang-dandang atau panci-panci yang akan digunakan untuk mengukus dan merebus, menutup botol-botol yang telah diisi dengan daging buah dan sirup (proses ini memang harus dilakukan oleh laki-laki, karena supaya botol tertutup dengan baik diperlukan tenaga yang sangat kuat), serta untuk melakukan proses packing. Ketiganya adalah tenaga harian, dengan upah Rp.15.000,00 per hari, dan bekerja 5-6 hari dalam seminggu.

3. Dua orang tenaga laki-laki dipekerjakan sebagai tenaga driver yang akan mengirim buah carica kepada pelanggan. Keduanya adalah tenaga tetap, namun dengan mempertimbangkan senioritas, 1 orang diberi gaji Rp.550.000,00 per bulan, dan 1 orang lainnya diberi gaji Rp.400.000,00 per bulan.

Karena sifat tanaman yang sangat mudah dipelihara, alat-alat produksi yang sangat mudah diperoleh, serta proses pemasakan sampai packing yang sangat mudah dilakukan, maka kegiatan produksi tidak pernah menemui kendala yang berarti.

ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Aspek Sosial Ekonomi
Karena sifat buahnya yang bergetah dan rasanya yang asam, semula buah carica tidak disukai oleh penduduk. Akan tetapi setelah pada tahun 1980an, diketahui bahwa buah carica ternyata enak dimakan apabila diolah dengan cara yang tepat. Karena didukung juga oleh cara penanaman dan pemeliharaan yang sangat mudah, maka sejak saat itu banyak sekali petani yang menanam buah carica. Pada saat itu sempat berdiri sebuah pabrik yang dapat menampung sekitar 3500 tenaga kerja. Ketika pabrik tersebut tutup, ribuan tenaga kerja kehilangan mata pencarian, dan ratusan petani kehilangan pendapatan.

Akan tetapi karena permintaan buah carica dalam sirup masih cukup tinggi, industri kecil mulai bermunculan. Setelah mengetahui bahwa buah carica sangat reaktif jika menggunakan kaleng sebagai kemasan, maka mereka mengganti kaleng tersebut dengan botol. Ternyata berhasil.
Dengan demikian, buah carica dalam sirup ini kembali bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada para penduduk di kota Wonosobo, termasuk pegunungan Dieng dan sekitarnya, baik yang berada di sektor pertanian maupun industri kecil.

Perubahan positif dalam aspek ekonomi ini akan semakin meningkat apabila pihak perbankan dapat berperan serta mengembangkan usaha-usaha tersebut, baik dalam hal pemberian kredit yang tepat guna, maupun hal-hal teknis lainnya.

Aspek Dampak Lingkungan
Sebagaimana diketahui, pohon carica sangat mudah ditanam, sehingga para petani di Pegunungan Dieng sering menanam pohon ini di pematang kebun, bersama-sama dengan tanaman pangan lain. Oleh karena itu, sebagaimana tanaman pangan lain, pohon carica sama sekali tidak mengganggu lingkungan.

PENUTUP
Sebagai penutup dari analisis terhadap usaha mikro, kecil dan menengah buah carica dalam sirup, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pelaku usaha yang terlibat dalam usaha ini adalah petani, pengepul dan industri kecil buah carica dalam sirup. Akan yang dibahas dalam buku ini adalah petani dan industri kecil, karena jumlah pengepul tidak terlalu banyak.
2. Sampai sejauh ini, daerah yang cukup berhasil menanam dan mengembangkan industri buah carica adalah di Pegunungan Dieng Wonosobo. Di daerah Malang juga pernah dikembangkan pertanian dan industri serupa, akan tetapi karena keterbatasan lahan, maka untuk sementara dihentikan.
3. Buah carica dalam sirup sangat diminati oleh masyarakat, khususnya di Jawa Timur, Bali, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pengembangan ke Jawa Barat dan Jakarta belum dilakukan karena keterbatasan biaya.
4. Dari sisi aspek teknis dan produksi, tidak ada kendala berarti yang ditemui, karena pohon carica mudah ditanam dan juga mudah mengolahnya. Demikian juga ketersediaan bahan baku dalam jangka panjang memungkinkan industri ini semakin berkembang.
5. Ditinjau dari aspek keuangan, usaha ini menunjukkan hasil yang layak untuk dikembangkan, dengan tingkat suku bunga 18%, dan jangka waktu kredit antara empat sampai lima tahun.
6. Analisis aspek sosial, ekonomi dan dampak lingkungan juga menunjukkan bahwa usaha ini layak dikembangkan, karena selain bisa menciptakan lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya, juga tidak merusak lingkungan, sebagaimana layaknya suatu tanaman pangan.

Sedangkan beberapa saran yang dapat dikemukakan dalam rangka mengembangkan usaha ini adalah :
1. Pemerintah daerah diharapkan dapat lebih memperhatikan usaha ini, dengan cara-cara antara lain memudahkan perijinan dan memberikan bantuan teknis supaya usaha ini dapat lebih berkembang.
2. Buah carica dalam sirup yang dikemas dalam botol dapat bertahan antara 1,5 sampai 2 tahun, dengan cara pengawetan yang sangat sederhana. Oleh karena itu, hasil produksi ini dapat diekspor lebih jauh keluar daerah, terutama jika didukung oleh cara pengawetan yang lebih baik lagi.


http://bisnisukm.com/potensi-bisnis-jawa-tengah.html

PURWACENG


Tanaman ini adalah tanaman yang sudah kondang kaloka sak nuswantara. Sudah bisa dipastikan banyak khalayak yang faham tentang tanaman yang satu ini. Purwaceng demikian orang menyapanya. Memiliki nama ilmiah Pimpinella pruatjan Molk. Banyak tumbuh subur di daerah dataran tinggi pada ketinggian 2000 - 3000 M dpl. Awal mulanya, tanaman Purwaceng di Indonesia hanya dijumpai di daerah pegunungan Dieng sebagai tanaman liar jenis perdu. Namun, pada saat ini telah banyak dibudidayakan di luar habitat aslinya. Setidaknya, Gunung Putri, Gunung Pangrango (Jawa Barat) dan Gunung Tengger (Jawa Timur) banyak bertebaran tanaman ini dibudidaya.

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Pimpinella Spesies : Pimpinella pruatjan Molk.

Pada sekitaran tahun 1990-an tanaman ini termasuk dalam kategori genting dan hampir punah, karena pembabatan yang dilakukan demi diambil akarnya untuk viagra Jawa. Baru menjelang era 2000an mulai dikembangkan dengan sistem kultur in vitro alias Kultur Jaringan. Perbanyakan dengan metode ini berhasil membiakkan tanaman ini dalam jumlah banyak serta dibudidayakan, bukan lagi sebagai tanaman liar.

Akar Purwaceng dilaporkan berkhasiat sebagai afrosidiak [mampu meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi], diuretik [melancarkan saluran kencing] dan tonik [meningkatkan stamina tubuh]. Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai aprosidiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah.

Beberapa penelitian ilmiah menyebutkan bahwa bahwa akar Purwaceng mengandung turunan senyawa kumarin yang digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk aprodisiak melainkan untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker. Artinya tanaman ini bukan sekedar untuk obat kuat saja. Ada banyak manfaat yang terkandung didalamnya, terutama akar tamanan ini. Sedangkan khasiat daun dan batangnya masih belum banyak ditelili. Pengembangan kultur in vitro yang dilakukan adalah dalam rangka penyelamatan tanaman ini dari langka punah.


Tanpa Pupuk

Purwaceng punya ciri khas berdaun kecil agak bulat dan bergerigi di bagian pinggirnya. Purwaceng memiliki satu batang dengan beberapa cabang daun yang tumbuh melebar di atas tanah.

Purwaceng yang subur bisa memiliki cabang daun yang diameternya mencapai 20 cm. Bila tumbuh di tempat yang tepat, daun purwaceng tumbuh subur dengan ukuran agak besar. Purwaceng yang subur dan bagus juga bisa memiliki akar yang panjangnya mencapai 20 cm, dan saat dipanen akarnya berwarna kuning.

Sebetulnya, cara menanamnya cukup mudah. Purwaceng diperbanyak dari bijinya. Biji yang sudah masak akan jatuh ke tanah dan tumbuh dengan sendirinya. Biji yang jatuh sendiri ini akan tumbuh lebih cepat daripada biji yang disebar dengan tangan manusia.

Cara kedua ini bisa membuat purwaceng baru tumbuh empat bulan setelah disebar. Setelah benih mulai tumbuh, tanaman sebaiknya dipindahkan ke tanah yang lebih luas (bukan pot), misalnya halaman belakang rumah.

Dengan demikian, akarnya bisa tumbuh secara maksimal, bahkan mencapai 20 cm. Cabang daunnya pun akan lebih banyak dan lebar. Tanah yang ideal bagi purwaceng, menurut Saroji, adalah tanah yang lincit alias tak terlalu berlumpur.

Bila tumbuh di tempat yang tepat, purwaceng tak perlu terlalu sering disiram. Pada musim hujan malah tak perlu disiram, sedangkan saat musim kemarau tanaman ini cukup disiram tiga hari sekali.

Uniknya, purwaceng justru harus dibiarkan tumbuh alami tanpa pupuk. Pupuk kandang masih boleh digunakan untuk menyuburkan, tapi pemberian pupuk kimia justru akan membuatnya tumbuh tidak maksimal.

Saroji mengaku bisa langsung mengenali purwaceng yang terkena obat kimia tanaman. “Kalau kena obat kimia, saat diproses, aroma khasnya yang harum dan rasanya akan berkurang,” tutur pria asli Dieng yang menjual purwaceng dalam bentuk kering, bubuk, dan dikemas dalam botol ini.

Setelah berusia satu tahun, purwaceng mulai bisa dipanen. Jika tumbuh bagus dan subur, enam tanaman purwaceng basah bisa berbobot sampai 1 kg! (Hasuna Daylailatu/Nova)


www.kaumbiasa.com

http: Kompas.com

Saturday, August 29, 2009

Sunday, June 7, 2009

Sejarah Wonosobo


Bedasarkan cerita rakyat , pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik , mulai merintis suatu permukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di dekitar kota Wonosobo sekarang ini.

DI kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya si Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduta sebagai penguasa Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Pecekelan - Kalilusi, yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok - Wonosobo atau Plobangan sekarang ini.

Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu kyai karim tersebut dikenal sebagai i Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen.

Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ) , Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Musbch atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, MAs Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah.

Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung Seconegoro. Selanjutnya Tumenggung Seconegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelas TUMENGGUNG SECONEGORO.

Eksistensi kekuasaan Seconegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dinuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Seconegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.

Dari hasil seminar AHri Jadi Wonosobo tanggal 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sespuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati bahwa Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.

Adapun penguasa/kepala pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari tahun 1825 sampai dengan sekarang adalah sebagai berikut :

1. Tumenggung R. Setjonegoro ( 1825 - 1832 )
2. Tumenggung R. MangoenKoesoemo ( 1832 - 1857 )
3. Tumenggung R. Kertonegoro ( 1857 - 1863 )
4. Tumenggung R. Tjokrohadisorjo ( 1863 - 1889 )
5. Tumenggung R. Soeryohadikoesoemo ( 1889 - 1898 )
6. Tumenggung R. Soerjohadinagoro ( 1898 - 1919 )
7. Adipati RAA Sosrodiprodjo ( 1920 - 1944 )
8. Bupati R. Singgih Hadipoero ( 1944 - 1946 )
9. Bupati R. Soemindro ( 1946 - 1950 )
10. Bupati R. Kadri ( 1950 - 1954 )
11. Bupati R. Oemar Soerjokoesoemo ( 1955 )
12. Bupati R. Sangidi Hadisoetirto ( 1955 - 1957 )
13. Kapala Daerah Rapingoen Wiombohadi Soedjono ( 1957 - 1959 )
14. Bupati R. Wibowo Helly ( 1960 - 1967 )
15. Bupati KDH Drs. R. Darodjat A.N.S ( 1967 -1974 )
16. Pj. Bupati KDH R. Marjaban ( 1974 - 1975 )
17. Bupati KDH Drs. Soekanto ( 1975 - 1985 )
18. Bupati KDH Drs. Poedjihardjo ( 1985 - 1990 )
19. Bupati KDH Drs. H. Soemadi ( 1990 - 1995 )
20. Bupati KDH Drs. Margono ( 1995 - 2000 )
21. Bupati KDH Drs. Trimawan Nugrohadi ( 2001 - 2005 )

www.e-wonosobo.com